Bencana Tsunami Menggulung Emosi


Belum sampai setengah jam, mataku sudah memanas menyaksikan Maria dan anak sulungnya, Lucas, berpanggil-panggilan saat melihat satu sama lain tersapu arus deras tsunami yang menggulung mereka kian menjauh dari pantai. Di satu titik ketika arus agak mereda, barulah mereka berhasil saling menggapai, berpelukan, tak mau lagi kehilangan satu sama lain. Namun, mereka tak menemukan Henry, suami dan ayah tercinta, serta dua adik Lucas, Thomas dan Simon.

Maria luka parah di bagian dada dan kaki, sedangkan Lucas hanya tergores ringan di sana-sini. Ketika keduanya hendak menyelamatkan diri dengan memanjat sebuah pohon tinggi besar, mereka mendengar suara seorang anak kecil meminta tolong. Maria bersiap mencarinya, namun Lucas mencegahnya karena menganggap hal itu terlalu berisiko.

"Bagaimana seandainya anak itu Thomas atau Simon?" kata Maria.

"Thomas dan Simon sudah mati!" kata Lucas.

Maria mendekap Lucas. "Sekalipun begitu, kita akan berusaha menolong semampu kita."

The Impossibe (J.A. Bayona, Spanyol, 2012) menjadi film yang sangat kuat dan mencekam dengan berfokus pada kisah sebuah keluarga. Keluarga Bennet tengah menikmati liburan akhir tahun 2004 di resor elok di Khao Lak, Thailand, ketika tsunami dahsyat memporak-porandakan segalanya. Kegembiraan keluarga itu menjadi kisah pencarian satu sama lain dalam sebuah drama yang menyayat hati.

Tim desain produksi dengan cermat menghidupkan kembali terpaan tsunami yang meluluhlantakkan wilayah yang diterjangnya, kerusakan yang terjadi sesudahnya, serta suasana rumah sakit dan posko pengungsian yang hiruk-pikuk dan pedih. Penonton serasa dicemplungkan langsung ke dalam peristiwa itu dan mengalaminya melalui sudut pandang orang pertama. Menggetarkan.

Penampilan Naomi Watts sebagai Maria dan Tom Holland sebagai Lucas amat menawan (untuk syuting adegan air selama lima minggu, mereka harus terus-menerus kungkum di tangki besar). Ewan McGregor sukses mewakili kegalauan Henry. Pemeran Thomas dan Simon, meskipun hanya sebentar tersorot kamera, juga bersinar.

Film ini berhasil menahan diri dalam dialognya: irit, ringkas, padat--tanpa tergelincir berceloteh filosofis atau nyinyir menjejalkan petuah keagamaan. Dalam konteks sebuah musibah yang masif, keiritan dialog itu jadi meninggalkan gema yang ngungun dan panjang. Panggilan bersahut-sahutan antara "Ibu!" dan "Lucas!" dalam adegan awal itu, misalnya, mengandung muatan emosi yang cukup untuk mencabik-cabik hati.

Krisis dapat mencuatkan kekerdilan jiwa, namun mampu pula membangkitkan keluhuran budi. The Impossible, film yang diangkat dari kisah nyata ini, memilih menyoroti sisi-sisi yang bersinar itu. Dan, bukan melalui tindakan kepahlawanan yang hebat-hebat, namun melalui adegan-adegan kecil yang menyentuh hati.

Ketika Maria, Lucas, dan Daniel, anak kecil yang mereka tolong, berada di atas pohon, Daniel menepuk-nepuk kepala Maria, lalu mengelus-elus tangannya.

Ketika mereka ditolong penduduk setempat, kamera berganti-ganti menyoroti close up wajah Maria yang setengah sadar dan wajah kakek penolong yang berkomat-kamit dalam bahasa lokal. Aku jadi teringat perkataan seseorang bahwa dalam wajah sesama, kita dapat menemukan wajah Allah.

Di rumah sakit, sementara dirinya terbaring lemah di ranjang, Maria menyuruh Lucas melakukan apa saja untuk menolong penyintas lain. Apa yang Lukas lakukan? Membantu menemukan sanak kerabat yang terpisah. Dari nama-nama yang diberikan kepada Lucas, sekilas kita menangkap betapa bencana ini bukan menimpa si putih atau si cokelat, melainkan menerpa umat manusia (identitas keluarga Bennet pun disamarkan). Menyaksikan Lucas bergerak gesit di tengah suasana serbadarurat itu, aku berbisik dalam hati, "Lucas is my little hero."

Henry, di tempat lain, mencoba meminjam telepon genggam untuk menghubungi ayahnya di rumah. Pemilik telepon, dengan alasan baterenya sudah mau habis dan masih banyak keperluan mendesak, menolak membantu. Nantinya ada penyintas lain yang, setelah mendengar kisah Henry, tanpa diminta menyerahkan telepon genggamnya. Saat menelepon, ucapan terbata-bata Henry meledak jadi lolongan kepedihan.

Ada pula kata-kata sederhana untuk mengatasi ketakutan menjelang tidur--"Pejamkanlah matamu dan pikirkanlah hal-hal yang menyenangkan"--diucapkan oleh tiga tokoh dengan nuansa makna yang berbeda.

Sebuah drama keluarga di tengah bencana, film ini sungguh menggulung emosi. ***

Comments

Popular posts from this blog

7 Humor Natal yang Bikin Terpingkal-pingkal

Edisi Koleksi Terbatas 50 Tahun Majalah Bobo Cerpen & Dongeng: Benarkah “Terbaik Sepanjang Masa”?

Setengah Hari di Rumah Atsiri