Kisah Natal ala Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Dalam buku Tahta untuk Rakyat, biografi dan bunga
rampai tulisan tentang Sri Sultan Hamengku Buwono IX, S.K. Trimurti menuliskan
kesan-kesan "wong cilik" tentang "rajanya". Salah satu
peristiwa yang dikisahkannya adalah sebagai berikut.
Seorang simbok bakul beras dari daerah Kaliurang
sedang menunggu kendaraan di tepi jalan. Dari
kejauhan dilihatnya sebuah kendaraan jip meluncur ke selatan. Wanita ini
memberhentikan jip tersebut karena hendak menumpang ke pasar Kranggan. Dia
memang biasa nunut-nunut kendaraan yang datang dari utara menuju ke selatan,
dan pulangnya juga nunut kendaraan dari arah sebaliknya. Ongkosnya pun sudah diketahui,
berapa rupiah rata-rata untuk satu kali menumpang.
Jip itu berhenti di depan simbok bakul itu.
Seperti biasanya, ia menyuruh sopir kendaraan itu mengangkat bawaannya, beras
entah berapa karung, untuk dinaikkan ke dalam jip. Sopir itu pun mengikuti
perintahnya.
Setiba di depan pasar Kranggan sopir itu turun dan
menurunkan karung-karung beras yang ada di dalam jip. Setelah selesai, simbok
bakul itu dengan sikap tegak lurus memberikan uang upah sebagal imbalan kepada
sopir. Tetapi, dengan sikap sopan sang sopir tidak mau menerima uang tersebut
dan mengembalikannya kepada simbok bakul itu. Simbok itu marah-marah karena
mengira ia menuntut upah lebih banyak lagi. Di tengah kemarahannya ia
mengatakan, mengapa sopir yang satu ini tidak mau diberi uang sekian, padahal
biasanya sopir-sopir yang lain menerima. Tanpa berkata apa-apa, sopir tersebut menjalankan
jipnya dan terus melaju ke arah selatan.
Setelah jip itu lenyap, seorang polisi yang
kebetulan berada di sana menghampiri simbok bakul itu dan bertanya,
"Apakah mbakyu tahu, siapa sopir tadi?" Masih dalam nada marah,
simbok itu menjawab, "Sopir ya sopir. Habis perkara! Saya tidak perlu tahu
namanya. Memang sopir yang satu ini agak aneh." Polisi itu berkata lagi,
"Kalau mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu. Sopir tadi adalah Sri
Sultan Hamengku Buwono IX, raja di Ngayogyakarta ini." Seketika itu juga
simbok bakul tadi jatuh pingsan, terjerembab ke tanah. Dia sangat menyesali
perbuatannya yang sangat kurang ajar terhadap rajanya.
Kisah-kisah
bermotif "raja menyamar sebagai rakyat jelata" memang senantiasa
menggetarkan keharuan kita. Rasanya ada suatu kerinduan yang kembali menganga,
ada kelopak harapan yang kembali mekar. Jauh di dalam lubuk hati kita, tak ayal
ada kerinduan untuk menjangkau Seseorang "yang lebih tinggi", hasrat
untuk berhubungan dan kalau mungkin berdekatan dengan-Nya, namun pada saat yang
sama seolah-olah kita juga diingatkan, betapa jauhnya---dan mustahilnya untuk
ditempuh---jarak kita "yang rendah" ini dengan Dia. Itulah sebabnya
kita rindu. Itulah sebabnya kita takjub manakala "Yang Tinggi" itu
berkenan melawat kita "yang rendah." Ya, betapa menggetarkan, ketika
Dia bukan sekadar mencurahkan berkat dan kebaikan, namun Dia sendiri hadir dan
menjadi dekat dengan kita.
Itulah
yang terjadi pada saat Natal. "Kristus
Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah
itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan
diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan
manusia" (Filipi 2:5-7). Dan, "Anak
Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan
nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Matius 20:28). Dia
datang untuk mendamaikan kita dengan Bapa, untuk memberi kita tempat
bersama-sama dengan Dia di surga. Beranalogi dengan judul biografi Sri Sultan
tadi, Dia memberikan "tahta untuk rakyat". "Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya
menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya"
(Yohanes 1:12).
bagus bos... bisa jadi renungan nih.
ReplyDeleteJudulnya bikin laris
ReplyDeleteHahaha... gitu ya, mas Bay?
ReplyDelete